Kota Malang, blok-a.com – Pemerintah Kota (Pemkot) Malang menemukan sekitar 11 persen data warga miskin tidak sesuai dengan kondisi terkini. Temuan ini muncul setelah Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (Dinsos-P3AP2KB) melakukan transisi dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Kepala Dinsos-P3AP2KB Kota Malang, Donny Sandito, menjelaskan, perbedaan data tersebut muncul karena adanya perubahan situasi ekonomi dan domisili masyarakat.
“Beberapa warga yang seharusnya menerima bantuan justru tidak terdata, sedangkan yang sudah tidak berhak masih tercatat. Biasanya karena pindah tempat tinggal atau perubahan tingkat kesejahteraan,” ujar Donny, Kamis (9/10/2025).
Dari hasil pemetaan DTSEN, terdapat sekitar 163 ribu warga Kota Malang yang masuk kategori desil 1–5. Sebanyak 28 ribu di antaranya tergolong miskin ekstrem (desil 1), sementara 38 ribu lainnya termasuk kategori miskin (desil 2). Sisanya tersebar di desil 3 hingga 5, yang dikategorikan sebagai kelompok rentan.
Donny menambahkan, sekitar 11 persen data lama di DTKS tidak cocok saat diverifikasi ke DTSEN. Karena itu, pihaknya mulai melakukan pembaruan sejak Juli 2025.
“Validasi ini penting supaya penerima bantuan tepat sasaran. Kami tidak ingin ada tumpang tindih bantuan antara program kota dan provinsi,” tegasnya.
Untuk memperbarui data, Dinsos-P3AP2KB rutin menggelar Musyawarah Kelurahan (Musykel) dengan melibatkan RT, RW, dan lurah. Proses ini menjadi ruang klarifikasi dan pengajuan warga baru yang berhak mendapatkan bantuan.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menilai pembaruan data menjadi langkah penting untuk meningkatkan efektivitas program pengentasan kemiskinan.
“Dengan data yang sinkron, pemerintah bisa menargetkan program bantuan secara tepat. Selama ini masih ada warga yang terus menerima bantuan bertahun-tahun tanpa evaluasi status kesejahteraannya,” kata Amithya.
Ia menekankan pentingnya integrasi antara data daerah dan pusat agar bantuan sosial bisa diterima oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
“Masalahnya bukan hanya jumlah bantuan, tapi siapa yang menerimanya. Kalau datanya tidak valid, dampaknya bisa keadilan sosial yang terganggu,” pungkasnya.