Kota Malang, blok-a.com – Rencana pembukaan jalan tembus di kawasan Perumahan Griya Shanta, Kota Malang, kembali menuai sorotan. Akademisi Universitas Brawijaya (UB) Ria Casmi Arrsa mengingatkan agar Pemkot Malang tidak tergesa-gesa mengeksekusi proyek tersebut sebelum memastikan kejelasan status lahan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU).
Menurut pakar Pemerintahan dan Otonomi Daerah (PP Otoda) UB itu, langkah awal yang wajib dilakukan Pemkot Malang adalah memastikan apakah PSU berupa jalan lingkungan di kawasan Griya Shanta sudah sah menjadi aset pemerintah daerah.
“Itu bisa dibuktikan dengan adanya Berita Acara Serah Terima (BAST). Kalau sudah ada BAST, maka status PSU itu otomatis menjadi bagian dari aset Pemkot Malang,” terang Arrsa, dosen Fakultas Hukum UB, Selasa (28/10/2025).
Informasi yang diterima blok-a.com, jalan tembus tersebut akan menghubungkan dua wilayah RW di Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, yakni RW 9 dan RW 12 di dalam kawasan Griya Shanta. Pemkot Malang juga perlu menertibkan dinding pembatas yang berdiri di atas lahan PSU sebelum proses pembangunan dimulai.
Berdasarkan dokumen yang ada, penyerahan PSU Griya Shanta telah dilakukan melalui beberapa BAST. Di antaranya BAST Nomor 600.2.18.2/583/35.73.403/2024 tanggal 18 Desember 2024, BAST Nomor 640/984/35.73.403/2020 (01/BAST.admin/BPM_GSE/XI/2020) tanggal 5 November 2020, serta BAST Nomor 17/BA/WK/DSP-1/997 (181.2/331/428.401/1997) tanggal 24 Februari 1997.
Setelah berstatus aset Pemkot, pengelolaan dan pemanfaatan PSU tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, menurut Arrsa, setiap langkah pemanfaatan harus mengacu pada perencanaan tata ruang dan mempertimbangkan dampak lingkungan.
“Ketika sudah menjadi aset pemda, pemanfaatannya perlu disesuaikan dengan perencanaan yang mencakup analisis dampak lalu lintas, amdal, hingga kesesuaian dengan RTRW,” jelasnya.
Sebagai informasi, rencana jalan tembus Griya Shanta merupakan bagian dari 14 rencana pembangunan jalan tembus yang tercantum dalam RTRW Kota Malang. Langkah ini dinilai sebagai salah satu solusi mengurai kemacetan akibat tingginya mobilitas warga di kawasan Soekarno-Hatta hingga Candi Panggung.
Namun, Arrsa menekankan pentingnya Pemkot Malang mengantisipasi potensi dampak sosial dari proyek tersebut.
“Begitu pembatas jalan dibuka, tentu mobilitas warga meningkat. Itu bisa menimbulkan dampak pada kenyamanan, ketertiban, bahkan keamanan warga sekitar,” ujarnya.
Soal kemungkinan gugatan warga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Arrsa menyebut hal itu sah dilakukan.
“Sangat terbuka kemungkinan itu. Warga berhak menggugat jika merasa terganggu atau dirugikan. Tapi pemda juga tentu punya argumentasi hukum untuk menjawabnya,” pungkasnya. (bob)








