Kota Malang, blok-a.com – Guru Besar Universitas Negeri Malang, Profesor Djoko Saryono, menilai bahwa pendidikan di Kota Malang telah masuk tahap komersialisasi dan bisnis.
Ia mencontohkan, dari data yang didapatkannya di lapangan, sejumlah sekolah dasar di Kota Malang bahkan mematok dana pengembangan pendidikan hingga Rp 40 juta, sedangkan Taman Kanak-kanak antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta.
Hal ini juga terjadi di level pendidikan tinggi, namun dalam skala yang lebih besar. Djoko menjelaskan bahwa sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), perguruan tinggi kini dianggap setara dengan korporasi.
“Khusus pendidikan tinggi, bukan hanya komersialisasi tetapi telah masuk tahap bisnis pendidikan,” kata Guru Besar Pendidikan dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang tersebut dalam orasi budaya di Festival Literasi di Toko Buku Togamas.
Salah satu contohnya adalah menjamurnya Fakultas Kedokteran yang sering dianggap sebagai sumber uang. Saat ini, dari tiga universitas negeri di Kota Malang seluruhnya telah memiliki fakultas kedokteran. Pun juga beberapa universitas swasta di Kota Malang ini telah memiliki fakultas kedokteran.
“Benih pertama ekonomi masuk dalam dunia pendidikan,” katanya.
Djoko juga mengkritisi bahwa perguruan tinggi saat ini sering dianggap tidak kompeten jika tidak sesuai dengan kebutuhan industri, sehingga dibentuklah akreditasi yang berkaitan dengan penjaminan mutu. Akibatnya, proses pendidikan sering diibaratkan sebagai pabrik yang mengabaikan humanitas dan toleransi.
Djoko menyoroti perlunya reformasi dalam sistem pendidikan agar kembali ke tujuan utamanya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia yang merdeka.
“Kita jauh dari cita-cita Bapak Pendidikan Nasional jika pendidikan hanya membentuk manusia yang merdeka, pendidikan harus mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Djoko.
Ia menyebut bahwa sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pendidikan seharusnya ditanggung bersama oleh negara, orang tua, dan masyarakat. Namun saat ini, ia menilai pendidikan lebih sering dilihat sebagai barang dagangan dan ekonomi.
Menurutnya, meskipun alokasi anggaran pendidikan ditetapkan sebesar 20 persen, dari total Rp655 triliun hanya Rp98,9 triliun yang disalurkan ke Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi. Sisanya mengalir ke berbagai kementerian dan lembaga lainnya.
“Belum ada pemerintah daerah yang mengalokasikan dana 20 persen untuk pendidikan. Rata-rata hanya 10-11 persen dengan berbagai siasat,” ujarnya.