Kabupaten Malang, blok-a.com – Prediksi peluang koalisi pada Pemilihan Bupati (Pilbup) Malang mulai santer dibincangkan akhir-akhir ini. Utamanya pada sejumlah partai besar di Kabupaten Malang, seperti PDI Perjuangan, PKB, NasDem serta Gerindra.
Namun, sementara ini masih ada dua partai yang muncul ke permukaan. Artinya, dua partai ini banyak menjadi sorotan masyarakat Kabupaten Malang. Mereka yakni partai merah dan hijau.
Hal tersebut dikatakan oleh Pakar Politik Universitas Muhammadiyah Malang, Zen Amirudin. Menurutnya, saat ini PKB dan PDI Perjuangan merupakan dua partai terbesar di Kabupaten Malang.
Kebetulan, pada Pilbup Malang dua partai ini belum menentukan pilihannya. Lantas, apakah PDI Perjuangan dan PKB akan berkoalisi atau kembali jadi rival?
Meskipun rekom dari DPP belum juga turun. Namun, pria yang juga menjabat sebagai Dosen Ilmu Komunikasi UMM ini meyakini keduanya akan kembali bertarung dalam kontestasi politik 2024 nanti.
Menurutnya, PKB akan kembali mengusung Lathifah Shohib dan PDI Perjuangan tentunya akan mengusung H.M Sanusi yang notabene sebagai petahana atau tombak partai.
“Kemungkinkan PDIP dan PKB akan menjadi poros utama rivalitas dalam konstestasi, sama seperti periode lalu, yakni Pilkada Malang 2020,” ujar Zen Amirudin kepada Blok-a.com, Sabtu (28/6/2024).
Sebab menurutnya, bagi PKB sendiri, kontestasi politik 2020 lalu menjadi pengalaman berharga untuk tidak sembarangan menentukan pilihan.
Jika ditelisik lebih dalam, pada Pilkada 2020 PKB yang dinahkodai oleh Lathifah Shohib kalah dengan Partai Banteng yang dinahkodai oleh H.M Sanusi, dengan perolehan suara selisih tipis yakni hanya 3-4 persen.
“Sementara PDIP dengan infrastruktur dan kultur politik petahana yang notabenenya ‘lulusan’ PKB tentu ruang politik petahana arsiran politiknya akan juga mengambil dari loyalis PKB yang ‘merah’,” sambungnya.
Lebih lanjut, Zen sapaan akrabnya mengatakan, pasangan yang proporsional menurutnya yakni petahana yang dapat melakukan akselerasi atau perubahan.
Jika hal tersebut diterapkan, maka akan mencipatakan demokrasi yang berkelanjutan.
Sedangkan jika petahana dengan rival bersatu, maka yang terjadi adalah menciptakan demokrasi yang cacat.
“Saya kok kemudian perlu mengatakan bahwa, pada intinya Kabupaten Malang butuh akselerasi perubahan yang berkesinambungan. Sehingga menurut saya, Pak Sanusi lebih cocok merangkul generasi-generasi muda Deva Kresna misalnya,” terangnya.
Ia memberi contoh di Blitar, salah satu daerah yang pada kontestasi politik 2020 lalu menjalankan Pilkada dengan lawan bumbung kosong.
Hal itu menjadi suatu perlu diwaspadai karena akan menjadi ancaman berat bagi proses demokrasi.
“Karena yang justru menjadi masalah adalah musuh bumbung kosong. Saya kira ini akan menciptakan demokrasi yang tidak bagus ke depannya,” tukasnya.(ptu/lio)