Kota Malang, Blok-a.com – Teater Hampa Indonesia Universitas Negeri Malang berani tampil beda pada pentas produksinya yang sudah ke 31 ini. Selama dua hari, mulai Sabtu, 11 November 2023 hingga Minggu (12/11/2023) malam, mereka mementaskan naskah “Melawen” yang pekat dengan unsur suku Dayak.
“Untuk unsur Kebudayaan di naskah pementasannya, saya buat naskah itu terinspirasi cerita rakyat dari Kalimantan Tengah, dalam alur cerita, dialog, latar belakang tokoh, tempat, suasana dan dalam peng-adeganan semua saya masukkan unsur-unsur ciri khas Suku Dayak,” beber sutradara, Melany Putri.
Dalam pementasan tersebut, Melany juga memasukkan dialog bahasa dayak. Unsur tersebut juga terlihat ketika adegan tokoh Intan, sang anak bersama sang ibunya, yang dipanggil Indung.
Pada kedua tokoh tersebut,latar belakangnya dari keluarga penari yang berhasil membawakan adegan menari Tari Enggang. Tari tersebut adalah tarian tradisional dari Suku Dayak.
Dalam aspek tata panggung, teater ini juga memakai rumah panggung khas Kalimantan sebagai inspirasi. Serta memadukan warna khas Dayak yaitu merah, hitam, kuning. Begitu juga di konsep untuk tata cahaya pertunjukan.
“Untuk detail kostum dan make up juga menggunakan pemakaian kirip untuk properti tari, bulu ruai, cawet dan masih banyak lagi yang diambil dari ciri khas Suku Dayak,” beber dia.
Proses kreatif juga dilakukan dalam sisi musik. Dimana mereka membuat lagu untuk pementasan menggunakan alat musik tradisional Kalimantan yaitu Sapek & Japen, Bahkan pementasan Malawen ini pun sampai perlu memakai 4 buah Sapek agar melekatkan budaya Dayak.
“Dalam semua unsur pementasan saya, teman-teman Teater Hampa Indonesia berusaha menciptakan euforia pementasan semaksimal mungkin agar teman-teman penonton yang belum ada kesempatan main ke Kalimantan pun bisa merasakan gambaran kebudayaan Kalimantan saat menonton pementasan Malawen ini,” lanjut mahasiswi asli Kalimantan Timur ini.
Tidak mudah menggandengkan kebudayaan Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak, pada para aktor. Pasalnya, semua aktor berasal dari pulau Jawa. Diperlukan perkenalan, penyesuaian, pembelajaran serta pemahaman untuk aktor ke dalam naskah. Dia mengaku, hal itu memerlukan proses yang panjang.
“Dialog – dialog yang saya masukkan ke dalam naskah pun ada beberapa yang memakai bahasa Dayak. Teman-teman aktor harus paham betul arti dan makna dari dialog yang ingin disampaikan,” ujar dia.
Dalam pantauan wartawan Blok-A, pementasan berjalan lancar. Selama dua hari, mereka mampu menjual seratus tiket lebih untuk memenuhi bangku penonton. Ketika datang, penonton akan disambut dengan alunan musik khas Kalimantan yang sayup-sayup. Bahkan, sebelum dimulai, penonton bisa melihat sang aktor sedang mendalami peran yang bertelungkup di atas panggung.
Cerita ini bermula ketika tokoh utama, seorang pemuda desa tepi danau bernama Kumbang, jatuh cinta dengan seorang wanita penari desa seberang, Intan.
Setelah Kumbang menabrak seseorang dalam perjalanan pulang karena Kepuhunan. Dalam adat Dayak, Kepunuhan adalah kepercayaan ketika seorang tamu ditawari makan dan minum lalu menolak, maka akan terkena musibah.
Ketika itu, Kumbang menolak hidangan makan dan minum desa sebelah itu sehingga menabrak Intan. Tetapi musibah itu mempertemukan Kumbang dengan Intan, malah jatuh cinta. Terlebih, Intan telah dinobatkan menjadi penari desa, sehingga siapa saja yang mencelakainya akan terkena kutukan.
Karena kedua hal itu, sang ibu Kumbang yang dipanggil Umai, dan ibu Intan yang dipanggil Indung, melarang hubungan mereka.
“Umai tidak rela anak satu-satunya pergi memilih gadis yang dianggap pembawa sial tersebut dan pada akhirnya Umai memilih mengutuk mereka berdua menjadi buaya penunggu danau daripada mereka berdua menjalani hidup tanpa restu dari orangtua,” pungkas Mey menjelaskan. (mg2/bob)